• Home
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Pasang Iklan
No Result
View All Result
Sunday, March 7, 2021
Papua Post | Portal Berita & Informasi Terupdate di Papua, Indonesia & Luar Negeri
ADVERTISEMENT
  • Home
  • Daerah
  • Mancanegara
  • Hukum-Ham-Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • Daerah
  • Mancanegara
  • Hukum-Ham-Politik
No Result
View All Result
Papua Post | Portal Berita & Informasi Terupdate di Papua, Indonesia & Luar Negeri
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Daerah

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

Admin by Admin
02/20/2021
in Daerah
0
0
Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166
0
SHARES
317
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter
Dibaca sebanyak: 304

SURAT GEMBALA DEWAN GEREJA PAPUA

Dalam rangka 166 Tahun Perayaan Injil masuk

Di Tanah Papua

5 Februari 2021

“orang papua IBARAT MONYET DALAM TAMAN NASIONAL Indonesia BERWILAYAH SABANG MERAUKE”

Solusi Damai Setelah 60 Tahun Konflik rasisme, kriminalisasi dan Militerisme di Tanah Papua

 

Ibrani 4:13

Tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi dari pandangan-Nya. Sebaliknya, segala sesuatu telanjang dan tak tersembunyi dari mata-Nya. Kepada-Nyalah kita harus memberi pertanggung-jawaban atas semua yang kita lakukan.

Efesus 6:10-20

6:10 Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya

; 6:12 karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu- penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.

 

Pindahkan dua juta orang papua ke Manado, Sulawesi Utara

Hendropriyono: OPM Pemberontak, Harusnya Masuk Daftar Teroris

CNN Indonesia | Senin, 23/12/2019 17:36 WIB

1.Pada hari ini, dari rumah kehidupan bersama kita, kami menyambut dan menyampaikan selamat menyambut tantangan-tantangan baru, pilihan-pilihan baru dan masalah-masalah baru dalam Tahun baru 2021. Kita menaikkan puji syukur kepada Tuhan yang sudah beberapa minggu menyertai kita dalam Tahun yang baru ini. Hidup ini yang kita jalani dengan berangkat dari perjuangan dan impian generasi Gereja dan masyarakat kita pada masa lalu yang sudah mengantar sampai kita sejauh ini dalam ziarah ‘menuju Tuhan’ Sang Kehidupan. Dalam bahasa iman

Gereja ‘kita bergerak maju menuju Papua Baru’ di Tanah, yang sudah sekuat tenaga melawan ‘amunisi rasisme sistemik’ dan kriminalisasi sejak awal tahun 1960 hingga hari tahun 2021.

 

2.Panah Rasisme Sistematik terhadap Papua Dari Tahun ke Tahun dan orang papua ‘Ibarat Monyet Dalam ‘Taman Nasional Indonesia yang berwilayah Sabang Merauke’

Judul ‘Surat Gembala’ dalam rangka Perayaan 166 tahun Perayaan Injil Masuk di Tanah ini, yaitu ‘orang papua Ibarat Monyet Dalam ‘Taman Nasional Indonesia yang berwilayah Sabang Merauke’. Bukan ‘orang papua ibarat ‘kerikil dalam sepatunya Kusuma Atmadja, Menlu NKRI RI’ dalam urusan Timor Leste dulu . Mengapa? Memasuki tahun 2021 ini, kami bangsa Papua ‘masih berhadapandengan peluru ujaran-ujaran rasis’ dari petinggi Negara, yang terus melumpuhkan martabat orang papua. terakhir melalui dua kasus berikut yang sedang ramai. (a)Kita melihat dua program yang baru2 diangkat (awal Januari 2021) oleh petinggi Militer: Hendroprijono, mantan Kepala BIN, mantan Menteri dalam beberapa Kabinet, seorang yang berpandangan miring terhadap Papua: masing-masing melalui program: yang semaunya berniat (a1) ‘memindahkan dua juta penduduk Orang Asli Papua (OAP) ke Manado, Sulawesi Utara dan memindahkan dua juta orang Manado ke Tanah Papua; dengan begitu memutuskan ikatan kebudayaan dan etnis ke ‘Papuaan’nya dengan Pasifik. Dan (a2), program kedua antara lain: dengan memasukkan Pemberontak Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam Daftar Teroris, sementara ‘media terus memuat tni POLRI yang ‘berjual beli senjata dan amunisi dengan OPM baik: OPM piaraan maupun OPM benaran.

(b) Pak Natalis Pigay yang kembali menjadi sasaran tembak ujaran rasisme, datang dari seorang petinggi Partai Hanura berkedudukan di dalam istana Presiden jokowi; yang meningatkan kita kepada insiden-insiden ujaran rasis sistemik sebelumnya seperti:

(b1) Penghuni asrama Mahasiswa Surabaya (16 Agustus 2019) . (b2)  Penghuni asrama mahasiswa Malang dan (b3) Obby Kogoya (Juli 2016),

(b4) Gambar foto muka Franz Kaisepo, pahlawan Nasional yang dicap sebagai

‘Gambar Hantu’ oleh para netizen. Pada hal saat berusia muda dia aktif membantu RI menjerumuskan bangsa Papua ke dalam pangkuan NKRI. Simak sindiran rasis berikut: “Pak jokowi. Sebenarnya gambar pada uang ini gambar siapa? Ko lancang sekali berani nyitak uang serem begini! Anak saya sampai ketakutan melihatnya, disuruh pegang aja dia nggak mau. Dia bilang “Gambar Hantu,” tulis pemilik akun Facebook Bayu Kumbara Arief .

(b5) Para korban ujaran rasis lain sebelumnya: ialah para pemain Persipura; (b6) para mahasiswa Papua yang berkuliah di Indonesia yang menjadi ‘sasaran ejekan rasis. Di mana Negara Indonesia? Sudah terwakili dalam program Hendroprijono, petinggi Negara Indonesia? Atau saudara Ambrosius yang petinggi Partai Hanura; sama halnya dengan Ormas dan tni dan POLRI yang ‘menghambur yel-yel rasis di depan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, tanggal 16 Agustus 2019, HUT Kemerdekaan RI yang ke 73?

3.Sejak awal 1960an, Panah Rasisme Sistemik melalui Program Pembangunan

Keamanan.

Generasi Papua hari ini yang memasuki tahun 2021 yang menghadapi ujaran-ujaran rasis dalam dekade ini adalah bagian dari generasi Papua tahun-tahun sebelumnya

sejak 1960an. Artinya Generasi Papua hari ini sudah menghadapi: rasisme sistemik

yang telah memelihara Konflik terlama Indonesia – Papua sejak awal 1960 ini. Elit Indonesia, barangkali menyebut program ini sebagai ‘60 tahun Indonesia’ membangun Papua, mensejajarkan rakyat Irian Barat dengan ‘saudara lain dari Propinsi lain di Indonesia’. Tetapi, sekali lagi bagaimana konkritnya ‘rasisme sistemik itu?’Pemerintah Indonesia sejak menyebar propaganda ‘datang ke Irian Barat mensejajarkan rakyat Irian Barat supaya sederajat dengan suku lain di Indonesia?’ Apa Siasatnya? Menekan dan menyuntik Papua berpikir, berperilaku, berpakaian dan bersongko seperti ‘Melayu’. Acub Zainal menyebutkan beberapa cara dalam bukunya: ‘I love the Army’ antara lain:

(a) Pada tanggal 2 & 3 Mei 1963, membumi hanguskan buku tentang kebudayaan, Sejarah dan hukum antropologi Papua.

(b) Para elit itu masuk ke rumah-rumah merampok barang-barang milik elit Papua dan menggeser dan merampok semua barang-barang peninggalan Belanda dan mengangkutnya dengan kapal ke luar Papua.

(c) Memaksa rakyat Papua, membuat pernyataan ‘kami rakyat Irian Barat adalah rakyat Indonesia dan kami sudah merdeka tahun 1945

(d) Memperkenalkan ‘operasi Koteka’ dan memaksa masyarakat memakai kain sarung dan songko, dan lainnya.

(e) Mengirim ribuan transmigran merampas tanah masyarakat atas nama pembangunan

(f) semua siasat ini dijalankan disertai ‘operasi militer’ dan ini dilakukan untuk

‘sejajarkan rakyat Irian Barat ini dengan suku-suku lain dari Provinsi lain dari Indonesia’. Apa yang ada dibalik program NKRI ini? Apakah bagi Indonesia, Papua itu adalah kerikil dalam sepatu’ yang dia harus ambil dan buang?’ Bagaimana OAP menyiasati pandangan ini?

  1. OAP melawan sejak awal: Ideologi counter-separatismeLantaran gesekan dan konflik antara Indonesia dan Papua tadi yang telah berusia60 tahun OPM lahir. Sekali lagi OPM tidak lahir dalam ruang hampa. Permainan politik perampokan dan penghancuran tadi, sudah melahirkan ‘Kesadaran baru di kalangan mahasiswa dan generasi muda’ yang menggugat realitas dan dinamika itu. orang papua tidak pasif menerima ‘paket pembangunan Indonesia yang rasis itu di Tanah Papua. Gesekan itu tidak mungkin dihindari, sehingga melahirkan ‘Pemberontakan OPM di Manokwari Juni 1965. Sejak itu, Indonesia jadikan Papua menjadi musuh yang harus dihadapi atas nama

GPK. GPL, Separatis, KKB. Indonesia menerapkan ‘ideology counter separatisme’. Tanah Papua menjadi Daerah Operasi militer. Banyak masalah yang meliliti rakyat di Tanah ini, sebagai akibatnya. Harapan untuk hidup damai dari generasi lalu, tidak bisa lepas dari masalah-masalah itu. OPM, Gereja ULMWP, KNPB, semua lahir di dalam konteks tersebut. Pertanyaannya, kita Papua sebagai manusia dan Gereja apa yang kita lawan? ‘Posisi sosial yang masyarakat Indonesia modern ‘berikan kepada orang papua yang memiliki DNA separatis, bodoh, kurang berbudaya’; walaupun selama 60 tahun Indonesia seperti dalam pidatonya Soekarno ‘sudah mensejajarkan rakyat Irian Barat supaya setara dengan suku-suku lain di Provinsi lain di Indonesia’. Dan itu akar soalnya.

5.otsus 20 tahun lalu dan Harapan Damai di Bumi Papua yang tidak jelas.

Saat otsus dipaksakan awal tahun 2000, se kelompok elit Papua berpandangan ‘otsus ini anugerah Tuhan’. Ada pendeta yang dalam tahun-tahun itu menggunakan istilah itu. otsus ini akan mengakhiri konflik Papua, itu harapannya. Tetapi bagaimana kenyataan selanjutnya hingga hari ini?

5.1. Harapan Damai Melalui otsus & Pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua Artinya dua puluh tahun lalu, sebagian elit Papua ‘berharap otsus bisa ‘membawa Damai bagi Papua’. Dan ‘harapan damai’ ini bukan di ruang hampa. Impian itu didukung ‘Reformasi yang sedang terjadi; yang ditandai dengan jatuhnya Suharto’. Semua orang papua bermimpi ‘demilitarisasi’ yang akan mengembalikan Damai di Tanah ini. Karena Tanah Papua hingga saat reformasi itu sudah dalam status DOM: Daerah Operasi militer. Tetapi apakah demilitarisasi di Tanah Papua terjadi? Tidak. Simak bagaimana Tanah Papua: kembali menjadi ‘lahan operasi militer lagi. Mengapa dan bagaimana?

Pemerintah Pusat berdamai dengan Aceh/GAM setelah Aceh dilanda Tsunami. Pemerintah bersedia mengakhiri Konflik dengan GAM/Aceh yang dimediasi pihak ke tiga. Hasilnya: Aceh didemilitarisasi. Tetapi Militer Indonesia yang tinggalkan Aceh butuh ‘lahan konflik tadi butuh; ‘daerah konflik’ baru. Di mana, kalau bukan Tanah Papua. Tanah Papua saksikan Remilitarisasi bersamaan dengan pelaksanaan otsus. Dan bersamaan dengan itu, Tanah Papua kembali ke ‘daerah, atau situs pertumpahan Darah’. Simak peristiwa2 Pelanggaran HAM Berat berikut sejak otsus di Tanah Papua.

  • Biak Berdarah, tanggal 6 Juli 1998 Rakyat yang berada di sana secara sewenang-wenang ditangkap disertai pemukulan dan juga penembakan oleh gabungan Aparat Militer dan polisi Indonesia. Atas tindakan brutal Aparat Indonesia itu tidak sedikit orang yang menjadi korban. Tidak berhenti di sana, rumah-rumah di sejumlah wilayah kota Biak juga tidak luput dari penggeledahan dalam aksi penyisiran. ELSHAM mencatat sekitar 150 orang menjadi korban. Sebagian dari mayat-mayat manusia tak berdosa itu dibuang begitu saja ke laut.
  • Wamena Berdarah, pada 6 Oktober tahun 2000 itu menyebabkan tujuh orang papua dan 24 pendatang meninggal. Lebih dari 5.000 warga Wamena saat ini mengungsi di markas kepolisian dan militer menyusul kerusuhan, sementara sekitar 400 memilih pindah untuk sementara ke Jayapura hingga kondisi pulih.
  • Abepura Berdarah, pecah pada 7 Desember 2000 ini berawal dari penyerangan sekelompok warga ke Polsek Abepura. Setelah penyerangan ini, polisi melakukan pengejaran dan menyasar beberapa asrama dan permukiman warga sipil. Asrama yang menjadi sasaran aparat di antaranya Asrama Ninmin (tempat korban, Pesut Lokbere), Asrama Yapen Waropen, Asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga (IMI) dan pemukiman warga di Abe Pantai, Kotaraja, Skyline. Saat penyisiran diduga sempat terjadi penyiksaan, pengrusakan terhadap penghuni asrama. Menurut data Komnas HAM, dari 53 korban dari kasus ini empat di antaranya meninggal dunia, dan beberapa lainnya mengalami trauma dan kesehatan yang kurang baik, salah satunya adalah Pesut Lokbere.
  • Wasior Berdarah, terjadi pada 13 Juni 2001 merupakan salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar dari sekian banyak tragedi berdarah yang terjadi di tanah Papua. Komnas HAM menyebutkan setidaknya terdapat jumlah korban yang banyak dengan perincian 4 warga tewas yakni Daud Yomaki, Felix Urban, Henok Maran dan Guntur Samberi, 39 orang terluka akibat penyiksaan, 5 orang dihilangkan secara paksa dan satu orang mengalami kekerasan seksual.
  • Wamena Berdarah, tanggal 4 April 2003 pukul 01:00 WP, di Kota Jayawijaya- Papua terjadi peristiwa kejahatan kemanusiaan “Wamena Berdarah”…. Akibat pembobolan gudang senjata Kodim 1702 Wamena. Aparat keamanan mengerahkan aparat gabungan tni dan Polri dengan titik sasaran 25 Kampung selama kurang lebih tiga bulan. Dalam insiden ini 9 orang terbunuh dan belakangan 38 orang lain; 25 warga kampung mengalami pemindaan secara paksa; 42 orang mati kelaparan karena pengungsian dan 15 orang korban karena pemaksaan atas kemerdekaannya secara sewenang-wenang. Pemkasaan penanda tanganan dan perusakaan fasilitas Gereja, Sekolah
  • Paniai Berdarah, pada tanggal 8 Desember 2014 di distrik Enarotali di Kabupaten Paniai. Empat (belakangan 5) orang pelajar tewas ditembak aparat.

Semua pelanggaran HAM Berat ini terjadi dalam ‘dua decade otsus. tni POLRI selamanya ‘kebal hukum’. ‘Impian Damai Tanah Papua’ itu belum datang. Panah Rasisme terhadap Papua terus diarahkan ke segala aspek kehidupan Papua. Negara melalui petinggi Negara yang berpengaruh hadir saat, melalui program rasis untuk memindahkan ‘dua juta orang papua ke Indonesia dan jutaan Indonesia ke Papua ‘melalui program Pemekaran yang dipromosikan dua tahun terakhir ini oleh jokowi dan Tito Karnavian, sambil remiliterisasi Papua dan menjaga api rasisme terhadap Papua tetap menyala.

5.2. Pemerintah Tidak punya Kemauan Politik Selesaikan Konflik Papua: Hasil Penelitian LIPI

Para aktivis Papua sering berkata ‘rasisme menjiwai pikiran Pemerintah ini sehingga, Indonesia hanya bisa mengandalkan ‘otot’. Para elitnya menyampingkan otak’ menyelesaikan masalah Papua. Ini kita bisa lihat dari 4 Akar Persoalan yang diangkat LIPI untuk memulai selesaikan ‘konflik Papua Jakarta yang sudah berusia 60 Tahun’ tadi. Apa saja ke 4 soal itu yang Pemerintah tidak hiraukan?

(a) Rasisme yang menyebabkan bangsa Papua mengalami marginalisasi secara sitematis.

(b) Pemerintah secara sistematis gagal dalam pembangunan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan

(c) sambil memelihara Perbedaan pandangan terkait ‘integrasi Papua ke dalam

NKRI’ yang menurut pihak Papua: invasi ke Papua yang sudah merdeka 1

Desember 1961.

(d)Pelanggaran HAM dan Lembaga Keamanan Negara Indonesia di Tanah Papua yang kebal hukum.

5.3. Konflik Bersenjata OPM yang terus terjadi dan dampaknya bagi kehidupan

Warga Jemaat dalam dunia dengan relasi demikian, OPM dengan senjata dan amunisi yang mereka beli (dari tni POLRI atau pihak lain yang dipakai untuk terus menjaga konflik tadi) sering melakukan penyerangan ke Pos-pos tni POLRI. Ini menyebabkan begitu banyak warga Papua yang mengungsi yang meninggal /tewas dalam operasi militer.

  • Terakhir di Nduga sejak 2 Desember 2018, 400 lebih warga Nduga yang meninggal di pengungsian
  • 400 warga yang mengungsi dari Intan Jaya sejak Desember 2019 juga dinyatakan tidak jelas nasibnya; dan
  • Sekitar 30 warga Amungme dari Banti, Opitawak dan kampung lain dekat

Tembagapura yang menghindar dari ‘konflik OPM dan tni POLRI’ awal Januari 2020, juga diberitakan tewas, sejak ratusan warganya mengungsi ke Mimika sejak Maret 2020.

Bagaimana dampaknya?

(a) Perasaan dihina, dikriminaliasi/dilecehkan dan disingkirkan di Tanah sendiri oleh bangsa lain selama 60 tahun dan juga masalah lainnya.

(b) Kekerasan demi kekerasan yang terus terjadi, tidak menyisakan ruang dan waktu/energy untuk mengungkapkan ‘rasa kehilangan, duka, trauma dan

kekosongan yang kita rasakan sehubungan dengan kepergiannya dalam tahun 2020 lalu dan tahun-tahun sebelumnya.

(c)J umlah penduduk OAP yang terus turun drastis, mati kelaparan di depan mata di Tanahnya yang kaya, dan sementara penduduk pendatang meningkat, didukung ideologi pembangunan bias pendatang

Setelah demikian, apakah ada masih manusia yang mau ditipu oleh NKRI dengan otsus Tahap ke dua (2020 s/d 2041? Atau produk propaganda lain yang serupa.

5.2.3. Penolakan otsus di Provinsi papua barat & RDP dari MRP yang di hambat tni POLRI

Memperhatikan realitas di atas: khususnya yang berhubungan ‘perasaan terus- menerus dihina’, wajar menyatakan pandangannnya dengan hampir semua unsur masyarakat menolak otsus tahap kedua.

(a) Penolakan pertama terhadap otsus pertama dilakukan awal tahun 2000, oleh berbagai elemen masyarakat Papua, saat TIM otsus uncen presentasikan Naskah otsus di GOR, Jayapura sebelum diantar ke Jakarta. Seorang warga yang menolak Naskah tersebut tewas ditembak di Halaman GOR Jayapura.

(b) Penolakan kedua terhadap otsus dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2005 ke kantor DPRP Provinsi Papua; dengan mengusung peti mati ‘alm otsus’.

(c) Akhir tahun 2020, mahasiswa yang menggelar Demo otsus di Kampus uncen, di Timika, dll berhadapan dengan tni yang represif dan penembakan2.

(d) Para mahasiswa yang sudah menyimpan semua duka dan kematian mulai di MRP papua barat pertama menyepakati melalui RDP (Rapat Dengar Pendapat): semua unsur menolak otsus tahap berikut.

(e) Bagaimana MRP Provinsi Papua? Mereka sudah ke lapangan: Kab. Jayawijaya,

Nabire, Deiyai, Dggiyai dan Paniai dan Kab Merauke untuk menyelenggarakan RDP (Rapat Dengar Pendapat). Tetapi mereka (MRP) ditekan dan diteror dan dikembalikan ke Jayapura. Di Merauke, anggota MRP yang ke sana diborgol dan para pengawalnya yang berjumlah 14 orang sedang di ajukan ke PN Merauke dengan ‘tudingan makar’.

(e) Berhadapan dengan realita otsus yang demikian para aktivis membentuk kelompok sipil yang disebut Petisi Penolakan otsus. Mereka hingga (akhir Januari ini) sudah mengumpulkan tanda tangan dari 100 kelompok dan sekitar 500.000, lebih sudah ‘menyatakan menolak otsus Tahab berikut’.

6.Hari ini dan Tahun 2021

Hari ini, saat kita membahas keadaan ini, kita lakukannya bukan di ruang kosong. Kita sedang renungkan keadaan ini dalam keadaan berbagai pihak sedang ‘siaga’. Bagaimana mereka memaksakan otsus Tahap kedua?

(a) Pembahasan perluasan perpanjangan otsus Tahap Dua sedang terjadi di Parlemen & di tambah dengan Penambahan Provinsi baru: untuk mendatangkan lebih banyak migran. Semua tanpa konsultasi dengan Papua dan menabrak UU otsus.

(b) Pasukan yang didatangkan ke Tanah Papua sejak Agustus 2019 terus dilakukan dan Tanah ini sudah penuh dengan Tentara dan Brimob, sementara otsus akan berakhir secara formal pada tanggal 21 November 2021

(c) Menurut Laporan dalam 2 tahun terakhir Indonesia sudah membangun sekitar 30 lebih Kodim dan 1 Pangkowilham di Mimika.

(d) Ini semua sedang di lakukan sementara ‘ujaran rasisme terhadap Papua sedang memenuhi ruang2 media di Indonesia & sementara semua protes terhadap ujaran rasisme oleh aktivis Papua dituding ‘kena pasal makar’.

(e) Demikian juga protes menolak otsus tahap kedua juga oleh Kapolda Papua

Paulus sudah dibatasi oleh Maklumat Makar.

(f) Kekerasan dan Penembakan2 di Intan Jaya: Penembakan terhadap seorang pendeta; Pdt.Zanambani, dua orang Gembala/Pewarta, dua orang warga yang dibakar lalu, abunya dibuang untuk menghilangkan jejak, Penembakan warga sipil lain; pesawat MAF yang dibakar tanggal 6 Januari 2021.

(g) Pemekaran 5 Provinsi Baru yang diumumkan Mendagri, yang bisa membuat masyarakat Tanah Papua yang terbagi antara: (g1) elit yang merebutkan jabatan baru/posisi baru dan penolakan otsus yang melekat dengan pemekaran itu & (g2) dan antara : elit Papua yang merebutkan kan jabatan tadi dan & tni POLRI yang akan merebutkan dana dana otsus tahap II tadi.

Kita, Papua ‘masih di Indonesia Papua yang penghuni dari Taman Nasional Sabang Merauke’.

7.Bagaimana kita sebagai Gereja mempertanggung-jawabkan iman kita? Bagaimana kita, Gereja kita mengangkat muka hadapi semua krisis, siasat dan masalah tadi dan dampaknya? Dari teks Kitab Suci yang kita kutib di atas, kita yakinbahwa, Gereja dan orang beriman hidup bukan dalam ruang dan waktu kosong, tetapi berhadapan dengan ‘penguasa-penguasa, melawan pemerintah-pemerintah, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara’ (Efesus 6:10-20). Selain itu kita juga dipanggil untuk meneguhkan pengakuan iman ‘bahwa Tuhan sudah memanggil kita dan telah mengutus kita ke Tanah penuh konflik ini (dan di mana saja) dengan dinamika masyarakat & kebudayaanya’. Di sana kita juga dipanggil untuk mempertanggung jawabkan iman yang Tuhan percayakan kepada kita (Ibrani 4:13). Sehingga menghadapi ‘konflik Jakarta – Papua yang sudah berusia 60 tahunan’dalam bentuk konkritnya ini, kami sampaikan:

7.1. Kami, Gereja optimis dan percaya bahwa  Konflik OPM /Papua yang telah bertahun-tahun ini bisa diselesaikan dengan damai dan perundingan. Toh, Indonesia juga bisa membaca jejak Presiden SBY, Gus Dur dan Presiden jokowi yang sudah tinggalkan jejaknya. Mengapa Gereja kita optimis di sini?

7.1.1.Presiden SBY dan JK sudah memulai menggunakan Pendekatan Damai dan Perundingan yang dimediasi oleh Swiss: negara ketiga yang netral’. Hasilnya: Perjanjian Hensiki. Dan GAM Aceh bisa redemilitarisasi. GAM/ACEH bisa bentuk Partai Lokal dan Bendera Aceh bisa dikibarkan.

7.1.2. Apa saja sumbangan Presiden Gus Dur; pada saat menjabat Presiden RI? dia menggunakan Pendekatan Budaya: menyumbangkan Rp. 1 milyaran bagi dana Kongres Rakyat Papua Dua (Mei –Jun1 2000) dan mengijinkan BK (Bintang Kejora) dikibarkan ‘asalkan ukurannya lebih kecil dan lebih rendah.

7.1.3. Presiden jokowi, pada tanggal 30 September 2019, sudah berjanji di depan media masa di Jakarta bahwa pihaknya ingin bertemu dengan ‘kelompok pro referendum Papua’. Sehingga kami percaya bahwa  Indonesia /Jakarta pada akhirnya akan berunding dengan ULMWP. Melalui surat ini    kami menagih janji tersebut.

7.2. Semua ini (butir 7.1.1- 7.1.3) kami harap bisa memberi energi  dan optimisme baru kepada semua pihak untuk bersama masyarakat Papua untuk mengurangi suasana’ rasisme yang meningkat terhadap Papua dan langkah ’ yang bisa menghancurkan manusia yang sedang terjadi dengan langkah perdamaian dengan:

7.2.1. Segera menghentikan pembahasan otsus di Jakarta tanpa konsultasi dengan rakyat dan

7.2.2. Menghentikan/menjelaskan kepada pulik: sepak terjang pihak Negara dengan: pengiriman pasukan dan Kodim-kodim baru & Pankowilhan

7.2.3.Menghentikan pemekaran Provinsi2 Baru di Tanah Papua tanpa ’aspirasi dari rakyat Papua’

7.2.4.ini disertai upaya yang transparan dari Presiden untuk menghentikan’ serangan ujaran rasis dari masyarakat dan lembaga Negara Indonesia’.

Mengapa semua program ini pada intinya sedang menutup mata kita terhadap ‘manusia Papua’ yang berharga di mata Tuhan; yang sedang dibiarkan terlantar’ demi keutuhan NKRI’. Karena itu kami mengajak semua berdiri bersama: manusia

Papua’ first. Papuan’s lives Matter’.

7.3.Kami juga mengakui kehadiran ‘Hardliners’ atau ‘Kelompok garis keras’ yang

‘Jakarta-sentris’ dalam sistem pemerintahan Negara ini. Kehadiran unsur ‘garis keras ini yang tidak bisa berdialog, yang kami mendegar sendiri dari Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2012 di Istana Cikeas, Jawa Barat. Pimpinan Gereja yang hadir: Pdt. Socrates Yoman, Pdt. Jemima Krey, Pdt. Wanma, Pdt. Benny Giay, Frederika Korain, dan beberapa orang lainnya.

Tahun berikutnya kami membaca: Mansour Fakih memperkuat pernyataan Presiden SBY tadi bahwa: dalam Negara RI ada unsur fasis yang menghambat demokrasi di Indoneisa. Pak Mansur Fakih: seorang pegiat LSM, pada saat itu, menulis ini, dalam ‘Kata Pengantar’ dalam buku ‘Fasisme’ .

7.4.Berhadapan dengan unsur demikian, kami telah mengusulkan pada tanggal 26 Agustus 2029 agar Pemerintah RI menunjukkan keadilan kepada Papua dengan ‘berunding dengan ULWMP/ KNPB dimediasi pihak Negara ke tiga. Tetapi bulan berikutnya (tangga; 30 September 2019), Presiden jokowi sudah menanggapi dengan menyampaikan di depan media bahwa ‘pihaknya bersedia bertemu dengan kelompok Pro referendum’. Hari ini kami sedang menunggu kapan ‘janji itu akan diwujudkan/ bukan ‘menunggu pembangunan Kodim, Pemekaran Provinsi dan Pembangunan Pangkowilhan.

7.5.Mempertimbangkan semua ini, kami Dewan Gereja Papua serukan:

7.5.1.Semua jemaat/pengerja (a) mengambil waktu untuk Doa & Puasa sekali seminggu untuk mohon hikmat dan kekuatan dari Tuhan selama sebulan ke depan mulai tanggal 10 Februari sampai 10 Mei 2021; (b) pada saat yang sama kami sampaikan terima kasih kami sampaikan kepada: teman2 di PCC yang sudah mendahului kami mengambil waktu untuk mendoakan kami dan berpuasa untuk keselamatan bagi Papua selama sebulan sejak 26 Oktober sampai 3 Desember 2020.

7.5.2. Dalam semangat yang sama: kami mendesak lembaga2 yang berwajib dari Propinsi Papua dan papua barat baik legislative maupun eksekutif; dan anggota DPD dan DPR RI yang mewakili Daerah Pemilihan Papua untuk mencari penjelasan dari Pemerintah Pusat terhadap langkah-langkah politik Negara dan pemerintah RI yang secara sistematis sedang menyebar ‘pesan bahwa manusia Papua, tidak penting, monyet, dan lainya; bahasa menyepelekan ‘manusia Papua dan eksistensinya’ dan (b) dengan cara2 berikut:

(b1) menutup pintu dalam mengalamatkan sumber konflik Papua – Jakarta yang disebutkan LIPI;

(b2) mengenakan ‘pasal makar bagi’ para aktivis Papua yang memprotes rasisme

terhadap Papua;

(b3) mendrop pasukan bertubi2 ke Tanah Papua sejak 19 Agustus 2019 hingga hari ini; di tambah dengan pembangunan Kodim dan Pangkowilhan ;

(b4) langkah2 Pemerintah Pusat yang melanggar UU otsus dengan memperpanjang otsus secara sepihak; juga (b5) memekarkan 3 Provinsi baru juga tanpa konsultasi rakyat Papua. Melalui surat ini, kami sebagai sebagai Gereja meminta penjelasan dari Pemerintah Pusat dan menjelaskan kepada rakyat Papua. semua sepak terjang Pemerintah selama 2 tahun terakhir di tengah ‘rasisme terhadap Papua yang tengah menguat yang ’bisa membakar/mempengaruhi operasi militer yang tengah terjadi di Nduga, Kab Nduga, Intan Jaya dan pembangunan Kodim dan Pangkowilhan yang tengah terjadi di Tanah Papua secara serempak.

7.5.3.Melalui surat ini kami juga mohon, saudara2 yang solidaritas dengan kami di mana saja di Indonesia, Pasifik dan di mana saja (a) menyelidiki dan memonitor keadaan Tanah Papua yang terus dijadikan sebagai ‘lahan jualan senjata dan amunisi’ kepada OPM piaraan atau benaran oleh ‘lembaga atau aparat tni POLRI’ yang sering kami baca di media lokal. Praktek jual beli senjata ini ditambah dengan ‘ujaran rasis yang menguat 5 sampai 6 tahun yang meningkat ini terus membuat Papua Tanah ‘berdarah-darah’ yang menjadi tontonan media sosial di sini. (b) Apabila mungkin bisa membentuk kelompok diskusi tertentu atau menganalisis dinamika ini situasi Papua pada hari-hari ini dan ke depan dan memberi kami nasehat mengenai kondisi yang kami sedang jalani dari ‘sudut pandangan saudara’. (c) Kami sudah disemangat oleh jejak Gereja Sedunia yang telah pernah melawat kami (berterima kasih kepada DGD dan Gereja di Asia & Pasifik yang sudah mengunjungi ‘kondisi para Pengungsi Nduga di Wamena’: kunjungan yang luar biasa; tidak hanya di tingkat jemaat akar rumput tetapi juga di tingkat pimpinan Sinode.

7.5.4.Dengan ketetapan hati bahwa kami ‘manusia dan bukan ‘monyet di Taman Nasional Indonesia ‘Sabang Merauke’, kami berterima kepada PM Vanuatu, PM Solomon Island dan para pemimpin Pacific Island Forum (PIF) dan Negara lain yang sudah menyerukan UNCHR untuk berkunjung ke Tanah Papua. Terlebih kepada solidaritas Papua di mana saja saudara berada.

Demikian doa, harapan dan keprihatinan atas situasi Tanah kami, yang kami berikan kepada Gereja-gereja dan masyarakat Tanah Papua dalam memaknai perayaan

166 Tahun Injil masuk di Tanah Papua. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Jayapura 5 Februari 2021

Dewan Gereja Papua

Pdt. Benny Giay

(Moderator)

Pdt. Andrikus Mofu

Pdt Dorman Wandikbo

 

Pdt. Socrates Yoman

 

 

PASTORAL LETTER PAPUA CHURCH COUNCIL

On the event of the 166 Years Celebration of the Gospel entering the Land of

Papua 5 February 2021

“PAPUA PEOPLE VIEWED AS MONKEYS IN THE SABANG MERAUKE IndonesiaN NATIONAL PARK”

 

A Peaceful Solution to 60 Years of Racist Conflict, Criminalisation and Militarism in the Land of Papua

 

Hebrews 4:13

Nothing in all creation is hidden from God’s sight.Everything is uncovered and laid bare before the eyes of him to WHOm we must give account.

Efesus 6:10-20

6:10 Finally, be strong in the Lord and in his mighty power.

6:12 For our struggle is not against flesh and blood, but against the rulers, against the authorities, against the powers of this dark world and against the spiritual forces of evil in the heavenly realms.

Moving two million Papuan people to Manado, North Sulawesi

Hendropriyono: OPM Rebels, should be put on the Terrorist List CNN Indonesia | Monday, 23/12/2019 17:36 WIB

  1. 1. On this day, from the home of our common life, we welcome the new challenges, new choices and new problems that have come with the New Year 2021. We give thanks to God WHO has been with us for the first weeks of this new yea The life that we live comes from the struggles and dreams of the generations of the Church and our society that have gone before us and brought us to this day on a pilgrimage “towards God” the source of Life. In the language of the Church’s faith “we are moving forward towards a New Papua” in this Land, which has been fighting as hard as possible against “the ammunition of systemic racism” and criminalization from the early 1960s to today in 2021.
  2. 2. The Arrow of Systematic Racism against Papua Year after Year and Papuans ‘ are like

Monkeys in ‘the Sabang to Merauke Indonesian National Park’.

The title of ‘Pastoral Letter’ on the event of the 166th Anniversary of the Celebration of the Gospel Entering this Land, namely ‘Papuans Are Like Monkeys in’ the Sabang to Merauke Indonesian National Park’. Are ‘Papuans’ like’ pebbles in the shoes of Kusuma Atmadja, the Indonesian Foreign Minister ‘previously in charge of affairs for Timor Leste? Why? As we enter 2021, we Papuans are “still dealing with bullets of racist speech” from state officials, which continue to paralyze the dignity of the Papuan people. The latest of these are described below.

(a) There are two programs that have recently been highlighted (early January 2021) by high-ranking military officials: Hendroprijono, former Head of BIN, former Minister in several Cabinets, a person WHO has a lopsided view of Papua: (a1) ‘relocating two million Indigenous Papuans (OAP) to Manado, North Sulawesi and moving two million Manado people to Papua; thereby severing cultural and ethnic ties between ‘Papuans’ with the Pacific. And (a2), the second program proposes to include the Free Papua Organization Rebels (OPM) on the Terrorist List, while ‘the media continues to defend the Indonesian National Armed Forces (tni) WHOse sell and buy weapons and ammunition with OPM: so there is a pet OPM and a real OPM;

(b) Pak Natalis Pigay, WHO has again been the target of racist speech, this time coming from a senior Hanura Party official WHO resides in President jokowi‘s palace.

These incidents remind us of previous incidents of systemic racist speech including:

(b1) Surabaya Student dormitory (16 August 2019). (b2) Malang student dormitory residents and (b3) Obby Kogoya (July 2016),

(b4) A photo of the face of Franz Kaisepo, the National hero WHO was been labeled a ‘Ghost Image’ on social media. At a young age, he was active in helping the Indonesian Government put the Papuan people into the bosom of the Republic of Indonesia. Check out the following racist quip: “Pak jokowi. WHO is the picture of on the money? How presumptuous of you to dare to print money like this! My son was scared to see the picture on the money, he was told to hold it, but he didn’t want to. He said “Ghost picture,” wrote the owner of the Facebook account Bayu Kumbara Arief.

(b5) Other previous victims of racist speech include: Persipura players; (b6) Papuan students studying in Indonesia WHO are ‘targets of racist taunts. Where is the Indonesian State? Is it represented in Hendroprijono’s programe, a high-ranking Indonesian State official? Or Ambrosius’ brother WHO was the leader of the Hanura Party; the same is the case with civil organisations, the Army and the Police WHO ‘spread racist slurs in front of the Papuan Student Dormitory in Surabaya, on August 16, 2019, the 73rd Anniversary of Indonesian Independence?

  1. 3. Since the early 1960s, the Arrow of Systemic Racism has run right through the Security DevelOPMent Progra Today’s generation of Papuans WHO enter the year 2021 and WHO face racist remarks during this decade are part of the previous generations of Papuans since the 1960s. This means that today’s generation of Papuans are facing systemic racism that has nurtured the longest running conflict between Indonesia and Papua since the early 1960s. The Indonesian elite, calling this program “60 years of Indonesia” developing Papua, juxtaposed the people of West Irian with “other brothers from other provinces in Indonesia“. But, once again, this shows how cemented the ‘systemic racism is’. The Indonesian government has spread propaganda that they ‘are in West Irian to help the people of West Irian to be equal with other ethnic groups in Indonesia?’ What is their strategy? Pressuring and influencing Papuans to think, behave, dress and talk like ‘Malays’. Acub Zainal mentions several ways to do this in his book: “I love the Army”, among others:

(a) On the 2 and 3 May 1963, books on culture, history, anthropology and law were set on fire and burnt;

(b) The elites broke into houses and robbed the belongings of the Papuan elite and removed and robbed all the belongings of the Dutch and transported them by ship outside Papua;

(c) Forcing the Papuan people to make the statement ‘we the people of West Irian are the

people of Indonesia and we became independent in 1945;

(d) Introducing the ‘Koteka operation’ and forcing people to wear sarongs and songko, etc; (e) Sending thousands of transmigrants to seize community land in the name of develOPMent;

(f) all these tactics were carried out accompanied by “military operations” and these were

carried out to “align the people of West Irian with other tribes from other Provinces of Indonesia“. What’s behind this program from the government of Indonesia? For Indonesia, Papua is a pebble in a shoe “that they have to take and throw away?” How does the Indigenous Papuan get around this view?

  1. 4. Indigenous Papuans fought back from the start: Counter-separatism ideology Due to friction and conflict between Indonesia and Papua, the OPM was born. It must be said again that OPM was not born in a vacuu The political game of robbery and destruction gave birth to a “new consciousness among students and the young generation” which challenged the lived reality and dynamics. Papuans have not been passive in accepting the ‘racist Indonesian develOPMent package in the Land of Papua. This friction could not be avoided, thus giving birth to the ‘OPM Rebellion in Manokwari in June 1965. Since then, Indonesia has made Papua an enemy that must be confronted, calling them Security Chaos Movement (GPK), Wild Chaos Movement (GPL), Separatists, armed criminal groups (KKB). Indonesia applies a “counter-separatist ideology”. The Land of Papua has become a Military Operation Area. There are many problems that surround the people of this land, as a result of this. The previous generations hope for a peaceful life cannot be separated from these problems. OPM, ULMWP, the Church, KNPB, were all born in this context. The question is, what is it that we are against as Papuans and as a Church? ‘The social position that modern Indonesian society’ gives Papuans WHO have a separatist DNA, are ignorant, and lack culture’; even though for 60 years it has been stated that Indonesia, as in Soekarno’s speech, “has aligned the people of West Irian so that they are equal with other tribes in other provinces in Indonesia“. And this is the root of the problem.

5.otsus 20 years ago and the unclear hope of peace in the Land of Papua. When otsus was enforced in early 2000, a group of Papuan elites had the view that ‘otsus is a gift from God’. Some pastors used that term then too. They hoped that special autonomy would end the Papuan conflict. But what is the reality today?

5.1. Hope for Peace through Special Autonomy and Serious Human Rights Violations in the Land of Papua twenty years ago, some of the Papuan elite “hoped that otsus could” bring peace to Papua “. And this “hope of peace” was not formed in a vacuum. The dream was supported by the ‘Reformation that was taking place; marked by the fall of Suharto ‘. All Papuans dreamt of ‘demilitarization’ which would restore Peace to this Land. Because the Land of Papua up to the time of reform was already under the status of Military OperationsArea. But is demilitarization in Tanah Papua happening? No, it is not. Look at how the Land of Papua has been turned back into ‘a military operation ground again. Why and how ?

The Central Government made peace with Aceh / GAM after Aceh was hit by the Tsunami. The government was willing to end the conflict with GAM / Aceh which was mediated by a third party. The result: Aceh was demilitarized. But the Indonesian military that left Aceh needed a new conflict area’. Where, if not Papua? The Land of Papua has witnessed remilitarization together with the implementation of Special Autonomy. And at the same time, the Land of Papua went back to being a place of Bloodshed”. Consider the following incidents of gross human rights violations since Special Autonomy in Tanah Papua.

  • Bloody Biak, July 6, 1998. The people there were arbitrarily arrested, beaten and shot by a combination of the Indonesian Military and Police. Due to the brutal actions of the Indonesian apparatus, not a few people became victims. It did not stop there, houses in a number of areas in the city of Biak were also not spared from being searched during the sweeping. ELSHAM noted that around 150 people were victims. Some corpses of innocent human beings were just thrown into the sea.
  • Bloody Wamena, on October 6, 2000, seven Papuans and 24 migrants died. More than

5,000 residents of Wamena sought refuge at the police and military headquarters following

the riots, while around 400 chose to temporarily move to Jayapura until their condition

recovered.

  • Bloody Abepura, which broke out on December 7, 2000 started with the attack on the Abepura Police Station by a group of residents. After this attack, the police gave chase and targeted several dormitories and civilian settlements. The dormitories that were targeted by the authorities included the Ninmin Dormitory (where the victim was, Pesut Lokbere), the Yapen Waropen Dormitory, the Ilaga Student Association (IMI) Dormitory and residential areas in Abe Pantai, Kotaraja, Skyline. During the search, it was suspected that torture and destruction of the dormitories occurred. According to Komnas HAM data, out of the 53 victims of this case four died, and several others experienced trauma and ill health, one of which was Pesut Lokbere.
  • Bloody Wasior, which occurred on June 13, 2001, was one of the biggest crimes against humanity of the many bloody tragedies that occurred in Papua. Komnas HAM stated that there were a large number of victims with 4 people killed, namely Daud Yomaki, Felix Urban, Enok Maran and Guntur Samberi. 39 people were injured as a result of torture, 5 people were forcibly disappeared and a person experienced sexual violence.
  • Bloody Wamena, April 4, 2003 at 01:00, in the City of Jayawijaya-Papua an incident of crime against humanity ” Bloody Wamena” occurred as a result of the raid on the weapons warehouse of Kodim 1702 Wamena. The security apparatus deployed joint military and police officers to target 25 villages for approximately three months. In this incident 9 people were killed directly and later another 38 died; 25 villagers experienced forced displacement;42 people starved to death due to displacement and there were 15 victims due to arbitrary arrest. People were forced to sign and there was destruction of Church facilities and schools.
  • Bloody Paniai, on 8 December 2014 in Enarotali district in Paniai Regency. Four (in the end

5) students were shot dead by the authorities.

All of these gross human rights violations occurred within the ‘two decades of implementation of Special Autonomy. tni POLRI is forever “above the law”. The “Dream of Peace for the Land of Papua” has yet to come. The arrows of racism against Papua continue to be directed at all aspects of Papuan life. The state through influential state officials promoted a racist program to move ‘two million Papuans to Indonesia and millions of Indonesians to Papua’ through the decentralisation program which has been promoted in the last two years by jokowi and Tito Karnavian, while remilitarizing Papua and keeping the fire of racism against Papua lit.

 

5.2. The Government Has No Political Will to Resolve the Papua Conflict: LIPI Research Papuan activists often say “racism is part of the mind of this government, so Indonesia can only rely on” muscle “. The elites put their brains aside ‘to solve the Papua problem. We can see this from the 4 Roots of Problems highlighted by LIPI to begin resolving the 60 years of

‘Papuan Jakarta conflict’. What are the 4 questions that the Government ignores?

(a) Racism which causes the Papuan people to experience systematic marginalization.

(b) The government systematically fails in develOPMent, welfare, health, and education

(c) The differing views regarding the ‘integration of Papua into the Republic of Indonesia‘

which according to the Papuans was the invasion of Papua, which was already independent,

1 December 1961.

(d) Violations of Human Rights and Indonesian State Security Institutions in Papua which are

above the law.

 

5.3. OPM Armed Conflict that continues to occur and its impact on the lives of members of church congregations

In a world with such a relationship, the OPM with the weapons and ammunition they bought (from the Indonesian National Police or other parties used to defend against the conflict) often carried out attacks on army and police posts. This caused so many Papuans WHO fled from military operations to die.

  • In Nduga since December 2, 2018, more than 400 Nduga residents have died due to

having to evacuate

  • The situation of 400 other residents WHO have fled Intan Jaya since December 2019 has

been declared unclear; and

  • Around 30  Amungme  residents  from  Banti,  Opitawak  and  other  villages  near

Tembagapura WHO fled from the “OPM and  Army/Police conflict” in early January

2020, were also reported dead, as hundreds of their residents have fled to Mimika since

March 2020. What is the impact of this?

(a) Feelings of being humiliated, discriminated against / harassed and excluded in one’s own land by other nations for 60 years as well as other problems.

(b) Violence after violence continues to take place, which does not leave any space or time or energy to express the ‘feeling of loss, grief, trauma and emptiness that we felt in connection with the losses in 2020 and previous years.

(c) The population of Indigenous Papuans continues to decline dramatically, starving to death in front of our eyes on their rich lands, while at the same time the immigrant population is increasing, supported by a develOPMent ideology biased by migrants.

After that, are there still humans WHO want to be deceived by the Republic of Indonesia with the second phase of Special Autonomy (2020-2041)? Or other similar propaganda.

5.2.3. The rejection of Special Autonomy in West Papua Province and Public Dialogue Meetings to hear Opinions from the Papuan People’s Council (MRP) which were blocked by the army and police. Taking into account the above reality: especially with regard to the

‘feeling of constantly being humiliated’, it is natural to express this view which comes from all elements of society: rejecting the second stage of otsus.

(a) The first rejection of Special Autonomy was first made in early 2000, by various elements of Papuan society, when the uncen Special Autonomy Team presented the Special Autonomy document at the Sports Hall, Jayapura before it was delivered to Jakarta. A resident WHO rejected the document was shot dead at the Jayapura Sports Hall.

(b) The second rejection of Special Autonomy was made on 15 August 2005 at the DPRP Papua Province office; through the carrying of the coffin of a symbolic ‘dead Special Autonomy’.

(c) At the end of 2020, students WHO held a Special Autonomy Demonstration at the uncen Campus, in Timika, etc. were faced with a repressive Army and shootings.

(d) Students WHO have saved all the grief and death started sharing with the West Papua Papuan People’s Council at their Listening Meetings. All groups rejected the next stage of Special AUtonomy.

(e) How about the Papuan People’s Council (MRP) of Papua Province? They went to the regencies of Jayawijaya, Nabire, Deiyai, Dogiyai and Paniai and Merauke to hold Listening Meetings. But they (MRP) were pressured and terrorized and had to return to Jayapura. In Merauke, the MRP members WHO were there were handcuffed and their 14 bodyguards were being brought to the Merauke District Court with accusations of treason”.

(f) Faced with the reality of otsus, activists formed a civilian group called Petition to Reject otsus. They have up to (the end of this January) collected signatures from 100 groups and about 500,000 more have “declared that they reject the next stage of Special Autonomy”.

  1. 6. Today and the Year 2021

Today, when we discuss the situation, we do not do it in an empty space. We are contemplating the situation while the various parties are ‘on alert’. How will they enforce the second Phase of Special Autonomy?

(a) Discussions on the expansion of the Phase Two Special Autonomy extension are currently taking place in the Parliament together with the addition of new Provinces: to bring in more migrants. All without consultation with Papuans and violating the Special

Autonomy Law.

(b) The troops that have been brought to the Land of Papua since August 2019 are continuing to come. This land is already full of army troops and special forces, while Special Autonomy will formally end on November 21, 2021

(c) According to reports over the last 2 years, Indonesia has built around 30 Kodim and 1

Pangkowilham in Mimika.

(d) All this is being done while “racism against Papua is filling media spaces in Indonesia and while all the protests against racist utterances by Papuan activists are accused of breaking treason laws”.

(e) Likewise, the protest against the second phase of Special Autonomy, has been limited by

Treason Decree by the Papua Police Chief, Paulus;

(f) Violence and Shootings in Intan Jaya: Shooting of a priest; Pastor Zanambani, two Priests, two residents WHO were burnt and their ashes were thrown away to remove traces, shooting of other civilians; and the MAF aircraft that was burned on January 6, 2021.

(g) The division of 5 New Provinces announced by the Minister of Home Affairs, which could cause the people of Tanah Papua to be divided between: (g1) the elite WHO will sieze new positions and the rejection of the Special Autonomy which will cause this division and (g2) between: the Papuan elite WHO will take over the positions and Army and Police WHO will compete for money from the Special Autonomy fund.

We, Papuans “are still in Indonesia, the inhabitants of the Sabang Merauke National Park”.

  1. 7. How do we as a Church account for our faith?

How do we, as a Church respond to all these crises, schemes and problems and their effects? From the biblical text at the beginning of the letter, we are sure that, the Church and believers do not exist in an empty space and time, but face the ‘powers, the governments, the rulers of this dark world, and stand against the evil spirits in the air ‘(Ephesians 6: 10 –

20). In addition, we are also called to confirm the confession of faith “that God has called us

and has sent us to this land that is full of conflicts with its dynamics of society and culture”.

We are also called to account for the faith that God has entrusted to us (Hebrews 4:13).

So, in order to face the ’60-year-old Jakarta – Papua conflict’ in a concrete form, we share the following:

7.1. We, the Church, are optimistic and believe that the OPM / Papua conflict that has been going on for years can be resolved peacefully and through negotiation. After all, Indonesia can also read the traces of President SBY, Gus Dur and President jokowi WHO have left their mark.

7.1.1.  Presidents  SBY  and  JK  used  the  Peace  and  Negotiation  Approach  mediated  by

Switzerland: a neutral third country’. The result: the Helsinki Agreement. And GAM and Aceh

were able to be demilitarized. GAM / ACEH was able to form a local party and the Aceh flag could be raised.

7.1.2. What were the contributions of President Gus Dur; when he served as the President of the Republic of Indonesia? He used a Cultural Approach: donating Rp. 1 billion in funds towards the Second Papuan People’s Congress (May –Jun1 2000) and allowing the (Morning Star flag to be flown as long as it was smaller in size and flown lower.

7.1.3. President jokowi, on September 30, 2019, promised the mass media in Jakarta that his party would like to meet with the “pro-Papua referendum group”. So, we believe that Indonesia / Jakarta will eventually negotiate with the ULMWP. Through this letter we call on this promise.

7.2. We hope that all of these points (items 7.1.1- 7.1.3) will give new energy and optimism to all parties to work with the Papuan people in a peaceful way in order to reduce the atmosphere of ‘increasing racism against Papua and other factors that are’ destroying humanity with:

7.2.1. Immediately stop the discussions on Special Autonomy in Jakarta without consultation with the people of Papua and;

7.2.2. Stop and explain to the public regarding the actions of the State of: sending troops and building new Kodim and Pankowilhan;

7.2.3. Stop the creation of New Provinces in the Land of Papua with no agreement from the

Papuan people’;

7.2.4. This should be accompanied by transparent efforts by the President to stop ‘racist attacks from the public and Indonesian state institutions’.

Why are all these programs essentially closing our eyes to the “Papuan people” WHO are precious in God’s eyes; WHO are being left abandoned “for the sake of the integrity of the Republic of Indonesia“. That’s why we invite all to stand together: Papuan people ‘first. Papuan’s lives Matter ‘.

7.3 We also acknowledge the presence of ‘Hardliners’ WHO are ‘Jakarta-centric’ in the governance of this country. The presence of these hardline elements WHO cannot dialogue, was heard from President SBY on 16 December 2012 at the Cikeas Palace, West Java. The Church leaders that were in attendance were: Pdt. Socrates Yoman, Pdt. Jemima Krey, Pdt. Wanma, Pdt. Benny Giay, Frederika Korain, and several others. The following year we read that: Mansour Fakih strengthened President SBY’s statement that: in the Republic of Indonesia there are fascist elements that hinder democracy in Indonesia. Pak Mansur Fakih: an NGO activist, at the time, wrote this, in the ‘Introduction’ of the book ‘Fasism’.

7.4. In the face of such elements, we proposed on 26 August 2019 that the Government of Indonesia show justice to Papua by ‘negotiating with ULWMP / KNPB mediated by a third State party. But the following month (September 30, 2019), President jokowi responded by conveying in front of the media that “his party is willing to meet with the Pro referendum group”. Today we are waiting for when this promise will be realized. We are not waiting for the construction of District Military Command Posts, the addition of new Provinces and the

DevelOPMent of Regional Military Posts.

7.5 Considering all of this, we the Papuan Church Council call for:

7.5.1. All congregations / workers should (a) take time for Prayer and Fasting once a week to ask God for wisdom and strength for the next few months from 10 February to 10 May 2021; (b) At the same time, we convey our gratitude to our: friends at the Pacific Council of Churches WHO have preceded us to take the time to pray for us and fast for the safety of Papua for a month from 26 October to 3 December 2020.

7.5.2. In the same spirit: we urge the authorities from the Provinces of Papua and West Papua, both the legislative and executive branches; and members of the DPD and DPR RI representing the Electoral Districts of Papua to seek an explanation from the Central Government regarding the political steps taken by the State and the Indonesian government which are systematically spreading ‘the message that Papuans are not important, monkeys, and so on; this language underestimates and devalues ‘the existence of Papuans’. They also do this in the following ways:

(b1) Closing the door on addressing the source of the Papua – Jakarta conflict mentioned by

LIPI;

(b2) Imposing a ‘treason clause’ for Papuan activists protesting racism against Papuans;

(b3) Dropping troops repeatedly into the Land of Papua since 19 August 2019 until the present day; coupled with the construction of District and Regional Military Posts; (b4) The

steps  taken  by  the  Central  Government  in  violating  the  Special  Autonomy  Law  by unilaterally extending Special Autonomy;

(b5) The addition of 3 new provinces without consulting the Papuan people. Through this letter, we as a Church request an explanation from the Central Government and for them to

explain to the Papuan people all the actions of the Government over the last 2 years a midst the ‘racism against Papuans which is on the rise’ which could inflame the ongoing military operations in Nduga, Nduga Regency, Intan Jaya and the construction of the District Military Headquarters and Regional Military Headquarters that are taking place in Papua at the same time.

7.5.3. Through this letter, we also ask for people to stand in solidarity with us from anywhere in Indonesia, the Pacific and elsewhere (a) to investigate and monitor the situation of the Land of Papua which continues to be used as a ‘land for selling weapons and ammunition’ to OPM pets. The practice of buying and selling weapons coupled with the increasing incidence of years of “racist speech” continues to make the Land of Papua “bloody” which has become a spectacle of social media. (b) If possible form a specific discussion group or analyze the dynamics of  the Papua situation  and in  the future and provide us  with  advice  on  the conditions we are living in from a ‘brother’s point of view’. (c) We have been encouraged by the footsteps of the World Church that have visited us (thank you to the World Council of Churches and the Church in Asia & the Pacific for visiting and seeing the ‘conditions of the Nduga Refugees in Wamena’: a wonderful visit; not only at the grassroots level but also at the level of the Synod leadership.

7.5.4 With the knowledge and determination that we are ‘humans and not’ monkeys in the Sabang Merauke Indonesian National Park, we thank the Prime Minister of Vanuatu, The Prime Minister of the Solomon Islands and the leaders of the Pacific Islands Forum (PIF) and other countries WHO have called for UNHCR to visit the Land of Papua. We also express our thanks to those WHO stand in solidarity with Papua wherever you are.

These are the prayers, hopes and concerns for the situation of our Land, which we put forward to the churches and the people of the Land of Papua in order to celebrate 166 Years since the Gospel arrived in the Land of Papua. May the Lord Jesus bless us all.

 

Jayapura, February 5, 2021

Papuan Council of Churches

Pastor. Benny Giay

(Moderator)

Pastor Andrikus Mofu

Pastor Dorman Wandikbo

 

Pastor Socrates Yoman

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

10

Tags: Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166
Previous Post

SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

Admin

Admin

Related Posts

SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58
Daerah

SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

02/11/2021
IPMNI beri apresiasi kepada DPRD Nduga atas penolakan Vaksin Covid untuk masyrakat Nduga
Daerah

IPMNI beri apresiasi kepada DPRD Nduga atas penolakan Vaksin Covid untuk masyrakat Nduga

01/14/2021
DPRD tolak tegas pemberian Vaksin Covid-19 untuk di berikan kepada masyarakat Nduga
Daerah

DPRD tolak tegas pemberian Vaksin Covid-19 untuk di berikan kepada masyarakat Nduga

01/14/2021
Befa Yigibalom – Jokowi Segera Sahkan Doren Sebagai Sekda
Daerah

Umat Baptis Gelar Kongres PGBP Ke VIII Di Pirime Lanny Jaya 

12/15/2020
Befa Yigibalom – Jokowi Segera Sahkan Doren Sebagai Sekda
Daerah

Befa Yigibalom – Jokowi Segera Sahkan Doren Sebagai Sekda

12/15/2020
Progres DD Nduga Capai 85 Persen P3MD Gelar Natal Bersama
Daerah

Progres DD Nduga Capai 85 Persen P3MD Gelar Natal Bersama

12/10/2020

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Recent News

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

02/20/2021
SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

02/11/2021
IPMNI beri apresiasi kepada DPRD Nduga atas penolakan Vaksin Covid untuk masyrakat Nduga

IPMNI beri apresiasi kepada DPRD Nduga atas penolakan Vaksin Covid untuk masyrakat Nduga

01/14/2021
DPRD tolak tegas pemberian Vaksin Covid-19 untuk di berikan kepada masyarakat Nduga

DPRD tolak tegas pemberian Vaksin Covid-19 untuk di berikan kepada masyarakat Nduga

01/14/2021
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Dalam Rangka Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua President Gidi Meminta Pemerintah Pusat Cepat Selesaikan 4 Akar Persoalan yang Ditemukan Oleh Lipi

Dalam Rangka Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua President Gidi Meminta Pemerintah Pusat Cepat Selesaikan 4 Akar Persoalan yang Ditemukan Oleh Lipi

11/30/2020
Bupati Nduga Membantah 2 Orang Warga Sipil Yang Tertembak Satgas 330 bukanlah Anggota TPN-OPM

Bupati Nduga Membantah 2 Orang Warga Sipil Yang Tertembak Satgas 330 bukanlah Anggota TPN-OPM

07/29/2020
Sejak 2004-2020 Sudah Ada Tiga Pendeta Yang Di Tembak Mati TNI (PDT. YEREMIA ZANAMBANI, PDT. GEYIMIN NIRIGI, PDT. ELISA TABUNI)

Sejak 2004-2020 Sudah Ada Tiga Pendeta Yang Di Tembak Mati TNI (PDT. YEREMIA ZANAMBANI, PDT. GEYIMIN NIRIGI, PDT. ELISA TABUNI)

09/22/2020
Socratez Yoman Layangkan Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi

Socratez Yoman Layangkan Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi

08/21/2020
Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

0
Merasa Geram,DPRD Nduga Meminta Anggota Satgas 330 Kostrad Bertangung Jawabkan Perbuatanya

Merasa Geram,DPRD Nduga Meminta Anggota Satgas 330 Kostrad Bertangung Jawabkan Perbuatanya

0
Dewan Adat Mamta Tabi Tolak Otsus Jilid II Papua Tidak Butuh Itu

Dewan Adat Mamta Tabi Tolak Otsus Jilid II Papua Tidak Butuh Itu

0
Terus Menjadi Korban Legislator Papua Asal Nduga Meminta Masyarakat Nduga Sebaiknya Di Pindahkan Saja

Terus Menjadi Korban Legislator Papua Asal Nduga Meminta Masyarakat Nduga Sebaiknya Di Pindahkan Saja

0
Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

02/20/2021
SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

02/11/2021
IPMNI beri apresiasi kepada DPRD Nduga atas penolakan Vaksin Covid untuk masyrakat Nduga

IPMNI beri apresiasi kepada DPRD Nduga atas penolakan Vaksin Covid untuk masyrakat Nduga

01/14/2021
DPRD tolak tegas pemberian Vaksin Covid-19 untuk di berikan kepada masyarakat Nduga

DPRD tolak tegas pemberian Vaksin Covid-19 untuk di berikan kepada masyarakat Nduga

01/14/2021
ADVERTISEMENT
Papua Post | Portal Berita & Informasi Terupdate di Papua, Indonesia & Luar Negeri

Redaksi :

Papuapost.co - Berani dalam Pemberitaan - Portal Berita & Informasi Online di Papua

Follow Us

Browse by Category

  • Daerah
  • Hukum-Ham-Politik
  • Mancanegara
  • REVIEW
  • Teknologi
  • Uncategorized

Recent News

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

Inilah Isi Surat Gembala Dewan Gereja di Papua Dalam Rangka HUT Pekabaran Injil ke 166

02/20/2021
SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

SAMBUTAN PRESIDENT GIDI DALAM RANGKA HARI ULANG TAHUN GIDI KE-58

02/11/2021
  • Home
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Pasang Iklan

© 2020 Berita Papua - Web Master oleh Jasa Webmaster.

No Result
View All Result

© 2020 Berita Papua - Web Master oleh Jasa Webmaster.

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In